MAULID NABI, SALAHUDDIN DAN KITA
Oleh : A. Fauzan Rofiq
Berbeda dengan Isa al-Masih, kelahiran Nabi Muhammad sangatlah jelas. Bila waktu kelahiran Isa al-Masih sampai saat ini masih diperdebatkan, maka lain halnya dengan kelahiran Nabi Pamungkas itu yang dicatat oleh sejarah secara utuh tanpa perdebatan sedikitpun. Tidak hanya kapan dan di mana ia dilahirkan, tetapi juga gelagat alam yang menyertai kehadirannya dapat terekam dengan baik. Ini mengindikasikan bahwa, betapa agungnya Nabi yang satu ini sehingga sejarah seakan merasa berdosa bila tidak menceritakan semua peristiwa yang berhubungan dengannya. Rasanya ta ada celah yang memberikan kesempatan kepada “cerita bohong” (distorsi) untuk memainkan perannya.
Adalah kitab “Madarij as-Shu’ud” (Syarh kitab al-Barzanji) karya Syeikh Nawawi al-Bantani, yang menjabarkan secara detail akan hal-ihwal kelahiran sang Nabi Agung itu. Melalui kitab tersebut, umat Islam dapat mengakses informasi lebih lengkap tentang Nabi mereka. Namun terkadang masih ada di antara umatnya yang kurang dapat mengambil ‘ibroh bahwa budaya dokumentasi itu sangatlah penting. Terlalu naif bila masih didapat pada zaman modern ini seseorang yang lahir tanpa dapat diketahui identitas kelahirannya. Sehingga untuk merayakan kelahirannya (hari ulang tahun), ia hanya berdasarkan perkiraan dan tentunya asal comot tanggal. Kasus ini tampaknya sama dengan apa yang menimpa Isa al-Masih, yang masih diselimuti “kabut hitam” sehingga membingungkan umatnya. Apa yang disebut “
***
Dalam suatu peperangan yang maha dahsyat, tentara muslim terdesak dan kalah. Kekalahan itu susul-menyusul dengan kekalahan berikutnya, hingga secara perlahan menggerogoti semangat kepahlawanan mereka dan ummat Islam tertekan secara psikologis. Wilayah kekuasaan yang begitu luas, semakin hari semakin sempit. Perekonomian carut-marut. Perebutan kekuasaan antar khalifah juga turut melestarikan kesengsaraan rakyat. Ditambah lagi kondisi budaya dan pendidikannya, tidak sebagus sebelumnya. Singkat cerita, mental dan keimanan umat Islam saat itu benar-benar diuji oleh adanya krisis multidimensi yang sedang melanda.
Peristiwa tersebut terjadi sekitar 600 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad (570 M), yaitu pada saat Perang Salib yang berkepanjangan sedang berkecamuk. Bisakah kondisi yang tak menentu itu dipulihkan kembali?
Sejarah tak akan pernah membuang lembarannya bahwa pada tahun 1138 M pernah lahir seorang pahlawan besar di dunia Islam, yang dengan segala kemampuannya berusaha menyelamatkan umat Islam dari keterpurukannya. Mungkin sudah menjadi takdir Tuhan bahwa nama Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi akan tetap dikenang sepanjang orang Islam masih mau menghargai jasa pahlawannya. Dialah pahlawan yang telah berhasil mengembalikan kewibawaan Islam pada saat-saat kritis. Sosok Sultan Saladin (begitulah lidah orang Barat melafalkan) muncul pada saat yang tepat. Pada tahun 1187 M ia membebaskan tanah suci kedua, Baital Maqdis di Yerussalem-Palestina, secara gilang-gemilang dari cengkraman tentara Salib. Kehidupan Sultan yang senang berdiskusi seputar al-Qur’an, al-Hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya ini, menjadi simbol kemenangan dalam setiap pertempuran. Dia adalah penakluk dan pembebas. Sehingga terkadang terlalu berlebihan apabila tumbuh “mind set” kepatuhan, ketundukan, dan kepasrahan di kalangan masyarakat muslim kepada pahlawan yang nyaris terkultuskan ini.
Sampai di sini kita melihat Sultan Salahuddin sebagai pahlawan yang sukses menyelamatkan dunia Islam dari keterpurukan, sehingga kredibilitas Islam kembali diakui. Pertanyaannya adalah, bagaimana ia mampu berbuat sedemikian gemilangnya? Untuk menjawabnya, ada beberapa hal yang perlu dijadikan pelajaran oleh kita untuk kemudian kita terapkan bila hal itu memungkinkan. Dan memang sejatinya, kita tidak hanya menjadi pengagum saja terhadap keusksesan orang lain, tetapi bagaimana kita meneladaninya. Apalagi potret krisis multidimensi yang setting-nya diambil sekitar seribu tahun yang lalu ini, ternyata tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dengan bangsa
Menerangkan seseorang (tokoh) adalah “menjelaskan dari luar” dengan menggunakan bahasa ilmu (hubungan-hubungan kausal) yang tentu saja “penjelasan” itu berada di luar subyek sendiri. Untuk itu penggunaan teori sosial dengan pendekatan hermeneutics (penafsiran) sehingga menjadi sejarah yang menerangkan (expalin, eklaren) adalah suatu keniscayaan dalam mengungkap tokoh tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh Wilhelm Dilthey dalam “Pattern and Meaning in History”-nya sebagaimana dikutip oleh guru besar ilmu sejarah UGM, Kuntowijoyo dalam “Metodologi Sejarah”.
Untuk menelusuri kehidupan (prestasi) Sultan Salahuddin sehingga kita dapat mengetahui bagaimana cara meneladaninya, paling tidak beberapa hal sebagaimana disarankan oleh Kuntowijoyo dapat dijadikan pijakan. Pertama, kepribadian tokohnya.
Kedua, kekuatan sosial yang mendukung serta zaman yang memungkinkan seseorang muncul, di samping juga berkat adanya faktor luck, coincidence, atau chance dalam sejarah. Pada saat Perang Salib pecah, umat Islam yang bercerai-berai merindukan seorang pemimpin bukan penguasa yang serakah, para prajurit muslim juga mendambakan panglima perang yang tangguh dan berwibawa. Kedua keinginan ini nampaknya hanya ada pada sosok Salahuddin saat itu. Jadi, ia muncul pada saat yang tepat. Dampaknya mudah ditebak: kesempatan untuk menyusun kekuatan yang besar atau —meminjam istilah al-Quran—”Ulu ba’sin syadid” (para hamba Allah yang memiliki kekuatan dahsyat) akan dengan mudah terwujud.
Ketiga, dan ini yang mungkin menjadi kunci kesuksesannya, yaitu kelihaiannya dalam memanfaatkan moment guna mengadakan transformasi sosial. Dan ini pula yang turut mengabadikan namanya dalam panggung sejarah Islam. Moment itu adalah formalisasi perayaan maulid Nabi. Dengan biaya miliaran (untuk ukuran sekarang), Sultan Salahuddin merayakan maulid Nabi secara besar-besaran. Tujuannya sangat mulia, yaitu menghadirkan ruh Nabi Muhammad di tengah-tengah umatnya yang mengalami kegamangan sosial. Dengan begitu, ia akan dengan mudah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin yang saat itu selalu diincar oleh pasukan Salib. Melalui momentum itu juga ia menyatukan kembali tekad kaum muslimin untuk membangun kembali rasa ukhuwah islamiyah dan bertekad memukul mundur pasukan Salib yang telah menguasai beberapa wilayah kekuasaan Islam.
Berkat jasa Sultan Salahuddin, moment maulid Nabi menjadi sesuatu yang sakral, di mana sebelumnya tidak sempat terpikirkan (namun tidak menutup kemungkinan ada orang lain yang telah melakukan perayaan yang sama meski secara sederhana). Terlepas dari persoalan tasyabuh dan bid’ah yang selalu diotak-atik oleh sebagian kalangan, yang jelas sampai saat ini perayaan maulid Nabi itu seakan telah menjadi bagian dari ritual keagamaan. Bila untuk mengobati kerinduan ummatnya dan mampu membangkitkan ghirah keislaman mereka, mengapa hal itu dipersoalkan?
Dengan ketiga hal tersebut di atas, Salahuddin al-Ayyubi mampu menyatukan kekuatan umat Islam yang bercerai–berai. Mengorganisir kekuatan militer secara rapi, sehingga menjadi kekuatan yang paling ditakuti selama perang Salib. Perekonomian ditata kembali. Pendidikan pun dipulihkan kembali, seperti keberhasilannya menjadikan madrasah “Al-Azhar” Mesir sebagai lembaga pendidikan beraliran Sunni (sebelumna Syi’ah) yang terkemuka saat itu dan paling langgeng sampai kini. Rakyat menjadikan Salahudin sebagai tumpuan bagi keamanan dan ketentraman mereka. Ia begitu disegani dan dikagumi. Berkat prestasinya itulah, ia terkadang tidak hanya hadir dalam dunia logos masyarakat muslim Timur Tengah, tetapi juga dalam dunia mitos.
Seandainya dalam pemilihan presiden 2004 ini, bangsa Indonesia memiliki sosok pemimpin (bukan penguasa) seperti Salahuddin dan bisa memanfaatkan moment maulid Nabi ini (atau moment-moment lainnya) secara kreatif, betapa kita sebagai rakyat akan juga merasakan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan yang lama didambakan, bukannya janji-janji politik yang selalu terngiang gatal di telinga.
